Postingan

Perbedaanku dengan Tuhan (dalam mengamatimu)

Tuhan mengetahui segala perbuatanmu karena Tuhan memiliki Malaikat pencatat perbuatan. Malaikat itu mencatat segalanya. Hingga nanti melaporkannya pada Tuhan. Sebenarnya, aku juga mengetahui apa yang terjadi padamu. Namun tentu saja aku berbeda dengan Tuhan yang memiliki Malaikat yang mencatat semua tentangmu. Aku hanya memiliki "malaikat"ku sendiri. "Malaikat"ku haruslah terhubung juga denganmu. Malaikat Tuhan memiliki banyak nama sesuai dengan apa tugasnya. "Malaikat"ku pun memiliki nama sesuai dengan kegunaannya. "Malaikat"ku pun berbeda-beda. Ada yang menampilkan fotomu, tempat di mana kamu berada, kegiatan yang kamu lakukan saat itu, atau pun keresahan yang sedang ada di pikiranmu. "Malaikat"ku tidak bisa mencatat sendiri. Haruslah kamu yang "mencatat"nya. Jadi, "catat"lah semuanya karena aku akan senang mengetahui keadaanmu. Aku akan menjadi "tuhan" untukku

Siapa Aku? Siapa Kamu? Di Mana Kita?

Entah berapa lama aku diam dalam kegelapan. Suara bising selalu terdengar dari luar, tetapi aku tak tahu itu suara apa. Tempat ini gelap dan sempit. Mungkin, hanya bisa muat oleh dua aku. Aku tidak tahu apa yang membatasiku karena gelap ini menggangguku untuk mengenali apa saja yang ada di sekitarku. Saat kuketuk dengan tanganku, pembatas ini tidak terasa keras layaknya besi dan tidak lunak layaknya agar-agar. Aku tidak mengerti ini di mana. Waktu terus berlalu dan aku masih saja terdiam seperti biasanya dengan dibatasi oleh sesuatu di sekelilingku. Suatu hari tempat ini seperti bergerak dan guncang-guncang cukup keras beberapa saat. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Gempa bumikah? Entah. Aku tidak tahu. Sesuatu yang pasti adalah guncangan itu membuatku pusing. Guncangan cukup keras itu akhirnya berhenti. Ada secercah cahaya muncul dari atasku. Cahaya itu semakin lama semakin terang dan dari cahaya itu muncul sesuatu. Sesuatu itu adalah aku, tetapi bukan aku karena i

Peran, tiap orang

Aku ingin sepertinya Mudah untuk mengungkapkan apa yang ia rasa Aku ingin sepertinya Tak memikirkan apa yang mereka pikirkan Jalani hidup apa adanya Tapi, jika aku sepertinya Siapa yang akan menjalankan peranku? Apakah ada seseorang yang menginginkan untuk mejadi seperti aku? Agar dunia ini tetap berputar Saling mengisi kekosongan Dengan penuh kesepertian...

Aku Ingin

Oleh Sapardi Djoko Damono Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu Aku ingin mencintaimu dengan sederhana  dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan  yang menjadikannya tiada

Ketakutan Pada Sang Malam

Menelusuri rimba keheningan Menyusuri sungai keputus asaan Menyongsong tatapan sang harapan Berharap gelap kan berganti terang Kini, malam dipenuhi kesedihan Memunculkan bayang-bayang kenangan Menghapuskan kebahagiaan Tak lagi menimbulkan kebahagiaan Kini, malam keterlaluan Tak lagi memunculkanmu Bersama bintang yang bertaburan Ditemani sang rembulan Kini, malam menakutkan Kutakut Kuhindari Kupergi Kutertidur Hingga mentari kan menyinari Membuat hariku bersinar lagi

PENGULANGAN

Sesosok pemuda sedang merenung di tepi jalan yang lumayan ramai, tempat ia biasa menghabiskan waktu. Motor, mobil, sepeda, orang, atau apapun itu yang bisa bergerak sudah pernah melintas di depannya. Ia masih merenung sambil memegangi sepucuk kertas dan sebuah pena. Pena yang tak pernah akan habis, kekal, karena memang tak pernah dipakainya untuk menulis. Tak jarang beberapa orang yang berlalu-lalang di depannya memberi uang yang tak seberapa karena mengiranya sebagai pengemis, padahal pakaiannya tak menggambarkan bahwa ia adalah pengemis. Uang yang tak sengaja ia dapat biasanya diberikan kepada yang benar-benar pengemis yang juga sering melintas di jalan itu. Jalan di mana pemuda itu merenung kadang begitu tenang, kadang juga begitu ramai. Ia selalu pulang tepat waktu yaitu jam 17.30 WIB lalu mengulang duduk merenung di tepi jalan itu pada hari berikutnya, selalu tepat waktu jam 15.30 WIB. Entah apa pekerjaannya yang sebenarnya, mungkin pelajar atau mungkin juga pekerja kantoran, a

Kesia-Siaan

Entah siapa namanya… Entah apa yang dipikirkannya… Ia selalu termenung di sana… Tangan kanannya memegangi tangan kirinya… Kadang ia memelukkan tangan kanannya dengan tangan kirinya… Begitu mesra hingga kakinya iri hatinya… Entah siapa itu… Entah apa yang dipakainya itu… Selalu rapi apa yang dipakainya itu… Selalu menunggu di depan gardu… Saat ditanya dikira orang gila orang oleh orang yang terganggu… Ia hanya menjawab orang yang tertanggu itu, “aku hanya menunggu calon istriku yang kabur tahun lalu…”